/1/
“Membahas Undang-undang
yang menyangkut hajat hidup orang banyak di masa seperti ini,
terlalu mengundang curiga”~Najwa Syihab
Setelah mendapatkan berbagai penolakan oleh berbagai elemen masyarakat, serikat buruh, dan mahasiswa, mengenai isi dari RUU Cipta Kerja Omnibus law. Akhirnya, diputuskanlah RUU tersebut, dalam rapat paripurna DPR yang awalnya akan diadakan pada 8 Oktober 2020, dimajukan menjadi tanggal 05 Oktober, Senin kemarin. Dikutip dari kompas selasa, 06 Oktober, rapat paripurna ini terkesan sangat tergesa-gesa, setelah sebelumnya pada hari sabtu RUU itu disetujui dan kemudian disahkan menjadi UU di tingkat 1 Baleg ( Badan Legislatif).
Dan pasca disahkan di Baleg, tercium gelagat DPR untuk mempercepat rapat paripurna. Dengan segenap alasan mengenai kondisi di parlemen yang mana, banyak dari anggota dewan bahkan staffnya yang terkena covid 19, alasan yang tidak bisa diterima akal sebenarnya. Humor pun terjadi, jadi, ini kan dewan perwakilan rakyat ya. Jadi, tetep harus ambil keputusan yang cepat dong, takut masakan yang sudah hampir matang malah gosong, sebab mangkrak. Maka, dengan segudang alasan haruslah diangkat tuh masakan, biar secepatnya bisa dinikmati. Daripada kelamaan nunggu 8 Oktober kelamaan ya kan, belum desas desus kabar demonstrasi dari aliansi buruh, jadi rapat paripurna harus cepat dirampungkan.
Dalam rapat paripurna, indikasi buru-buru semakin nampak kental terlihat, dengan ditiadakannya pandangan fraksi yang menurut pimpinan sidang yang sangat terhormat Aziz, menurutnya pandangan tiap fraksi sudah dibacakan ketua panitia kerja. Akan tetapi, pernyataan dari Aziz ditentang anggota DPR, sehingga tetap di bacakan pandangan fraksi tersebut, dengan kesan buru- buru yang masih melekat.
Pemandangan sangat asyik bagi saya, ketika melihat sebuah sidang paripurna DPR yang sangat terhormat, yang dipimpin oleh ketua yang sangat terhormat pula, dengan lantang dan bersikukuh membungkam aspirasi ataupun pandangan dari Benny K. Harman, menolak RUU tersebut. Tanpa memberikan sedikit celah kepada Benny ini, untuk berbicara. Dengan segenap alibinya, aziz selaku ketua sidang yang terhormat, menutup akses berbicara, sebab dia sendiri yang terhormat adalah pimpinan sidang. Pemandangan yang indah sekaligus menggelikan bukan?. Lantas, Bagaimana dengan kebebasan berpendapat dimuka umum?. Apakah sudah tidak berlaku ?. Dalam pikiran saya, apakah seperti inikah konsep demokrasi yang dari dulu diajarkan?. Saya masih terus bertanya-tanya, perihal kepada siapa pertanyaan saya ditujukan.
Siapakah pihak yang akan diuntungkan?
Pertanyaan ini akan muncul dalam benak, ketika melihat skema keterburu-buruan dalam pengambilan keputusan hajat orang banyak. Jika dicermati isi dari RUU tersebut, seakan-akan memberikan ruang pengusaha untuk memperlancar eksploitasi besar-besaran, dengan bersembunyi dibalik undang-undang. Seperti yang diungkapkan Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamad Isnur beliau berpandangan Alih-alih memikirkan nasib petani dan nelayan yang kehilangan sumber penghidupan, RUU Cipta Kerja justru memfasilitasi keserakahan dan korupsi banyak investor hitam dengan bantuan oligarki. Contohnya, seperti proyek strategis nasional dalam bentuk pembangunan infrastruktur ketenaga listrikan, seperti PLTU di Batang, Cirebon, dan Indramayu, yang juga menghancurkan lahan petani dan nelayan.
Pandangan dari Muhammad Isnur, sepakat dengan kutipan dari koran pikiran rakyat edisi Selasa kemarin, yaitu: Persekutuan jahat antara pengusaha dan pejabat pemerintah/aparat keamanan yang menggunakan berbagai cara untuk merampas sumber penghidupan masyarakat dengan dalih pengadaan lahan untuk kepentingan umum tanpa indikator yang bisa dipertanggungjawabkan secara jelas. Mimpi banjir investasi yang di gadang-gadang dalam RUU Cipta Kerja sudah bisa dipastikan tidak akan menjadi penyelamat ekonomi nasional. RUU Cipta Kerja memberikan kemudahan perizinan hanya bagi segolongan pengusaha yang menjadi kroni pejabat dan anggota DPR yang memperluas korupsi. Dicabutnya banyak kewenangan daerah dalam perencanaan fungsi wilayah untuk berbagai sektor serta perizinan menunjukkan keterbatasan pemahaman penyusun RUU Cipta Kerja dalam pentingnya melibatkan daerah dalam agenda pembangunan.
Iming-iming memajukan UMKM dan sertifikasi halal, yang sepertinya hanyalah sebuah rasa manis, yang menyimpan pahit di dalamnya. Rasa pahit,dengan kemunduran penghasilan ekonomi masyarakat lokal yang akan terjadi, dengan adanya eksploitasi elite pebisnis. Kemudian, dampak omnibus law akan sangat dirasakan pada kaum buruh, dengan instrumen undang-undang terburu-burunya itu.
Lantas, apakah masih ada untungnya RUU tersebut bagi kaum buruh, dan rakyat kecil (wong cilik)?
Mosi Tidak Percaya
/2/
“Aspirasi publik kian tak didengar, bahkan dalam pembahasan RUU itu terus dilakukan pembatasan seakan tidak lagi mau mendengar apa yang menjadi dampak bagi hak-hak dasar negara”~Feri Amsari
Meminjam pendapat dari Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas tersebut, menggambarkan suara yang digaungkan rakyat tidak sampai kepada wakilnya di Senayan. Aksi penolakan yang marak terjadi, apakah hanya bahan tontonan semata, wahai tuan dan puan di Senayan sana yang sangat terhormat.
Mungkin niat baik DPR adanya Omnibus law cipta kerja, dapat mempercepat tingkat pertumbuhan ekonomi. Namun, apakah harus sekarang diputuskan?. Bukankah masalah covid 19 yang seharusnya menjadi skala prioritas?. Seperti yang diungkapkan oleh presenter Najwa Shihab, Niat baik pun perlu proses yang baik, proses yang semrawut hanya akan disusul polemik. Dan, mungkin polemik inilah yang sekarang sedang bersama rakyat Indonesia rasakan.
Banyak aksi batalkan RUU tersebut yang kian gencar dilakukan kelompok masyarakat, serikat buruh, dan mahasiswa. Mereka merasa, ada yang tidak beres dengan RUU Cipta kerja. Sehingga timbullah tagar mosi tidak percaya. Munculnya tagar tersebut sebagai penolakan atas keputusan dari Dewan yang sangat terhormat, dalam keputusan paripurna kemarin.
Saatnya kita sebagai mahasiswa, memperjuangkan demokrasi yang dikorupsi. Sebagai mandat Social control yang tersemat dalam pundak tanggung jawab mahasiswa, yang mengawasi dan kritis terhadap kebijakan pemerintah, terlebih dengan kebijakan yang dipenuhi unsur polemik. Bergerak bersama turun jalan bersama rakyat, memperjuangkan hak demokrasi kita. Selaras dengan adagium “Ketika hati tak lagi dimengerti, ketika ucapan tak lagi didengarkan, maka cara terakhir adalah aksi”.
Dengan, pemandangan polemik di Senayan yang tergambar jelas dalam penglihatan. Apakah kita masih tetap diam, dengan kondisi tidak biasa yang tengah terjadi sekarang?
Hidup Demokrasi !!!
Hidup Rakyat !!!
Hidup Mahasiswa !!!
*M. Hendry Agus Riyanto Anak dari keluarga buruh tani, yang lahir dan tumbuh besar di Banyumas. Sekarang tinggal di Randegan, Kebasen. Ia tercatat sebagai Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Arab IAIN Purwokerto, menulis adalah ekspresi yang ia tampilkan dalam seni kata. Ia menulis Esai, cerpen dan puisi. Beberapa karyanya terpublikasikan Koran Kopri, Harian BMR Fox,Majalah Simalaba, dan antologi puisi bersama “Semua Menutup Pintu untuk Duka Kota” (2020).