Doc. //Indonesia Merdeka By Dhikgital On DeviantArt |
Di balik Kemerdekaan Bangsa
Baju veteran yang warnanya, berubah bunga putus dari tangkai, tersungkur 5 hari itu. Kau masih setia merawatnya. Ada jantung yang berdebar di atas rajutan kain lusuhmu. Ada mulut manis, yang siap mengisahkan gagahmu, maju bersama senjata gigih – merangkak, tertembak, untuk bangkit-Baju veteran masih tersimpan dalam lemari penyimpan kenangannya, Kau begitu khusyu’ merawat, sesuatu yang kau sebut pataka kebanggaan.Bajumu, senantiasa berkisah tiap sambutan tahunan. Merah putih mengudara, menunjam langit. Menurunkan air mata perjuangan di tubuh senjamu
Wajah malam akan terlihat di antara peringatan senja di sebuah gubuk renta. Ayam-ayam, bebek, kambing mulai berkemas menuju rumah peristirahatannya, dengan dituntun oleh sang pemilik. Mereka terlihat bahagia setelah seharian penuh, berjalan, mencari makan, tanpa adanya keterikatan. Mereka bebas. Merdeka. Dari tiap langkahnya, mereka seakan mengajak menari untuk merayakan hari kebabasan. Pemandangan itu, beralih bersama datangnya desir angin sore itu, membawa berita suka duka sisa perjuanganmu yang masih tersisa dan sengaja disisakannya angin sore kepada mega merah menyala tajam. Yang tiap kehadirannya, memoarkan ingatan tentang kelu kisahmu. Di atas gubukmu, tiap camar yang hinggap, turut merasa iba akan keadaan dirimu sekarang. Lusuh. Bermandikan keringat kemarin.
Nampak di sisi kananmu, kau menyimpan sederetan foto perjalananmu di medan juang. Mati-matian membela harga diri bangsa, yang kini tidak menghargai perjuangan, untuk harga dirinya di masa lampau. Kau duduk membelakangi baju veteran lusuh, seusia bangsa ini, merayakan kemerdekaannya. Kau hidup bersama cucu dari anak semata wayangmu, yang kini tengah mengadu nasib di kota seberang. Rina, gadis cantik berusia 15 tahun, yang perhatiannya melebihi perhatian bangsa terhadapmu . Ia mengabarkan bahwa besok adalah perayaan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Kau pun lantas terperangah mendengar kabar membahagiakan itu. Kegembiraan yang disambut oleh aliran air mata haru, mengalir membasahi pipimu yang kian kendur sebab usiamu. Kau pun lantas bergegas menuju tempat pakaianmu tergantung. Dalam lemari kebanggaanmu itu, kau mulai mengeluarkan baju lusuh itu. Dan mulai perlahan mengenakannya. Kau bercermin dan dengan gagah kau kenakan baretmu yang kini mulai memudar. Kau berkata pelan pada dirimu dalam cermin, usia takkan aku biarkan menjalarkan akar kemalasan dalam tubuhku. Tubuh renta akan kuajak berjuang, di usiaku yang kian rapuh. Kemudian, kau pergi ke pojok gubug, memberikan penghormatan tulusmu pada sang saka merah putih, yang berkibar halus sebab angin yang membelainya melalui celah jeruji jendela keropos nan ringkih. Kau nampak khusyu’ memandangi wajah merah putih itu. Ia yang dulu kau perjuangkan, sekadar untuk melangitkan mimpi kemerdekaan Indonesia, naik ke angkasa raya diiringi alunan syahdu “Indonesia Raya”. Masih diam terpaku pesona keindahan sang pusaka. Setengah teriak, Merdeka!!!, Kini kau mengepalkan tangan kananmu dengan pekikan yang mengguncang semangat seisi gubugmu.
Kau menuju tempat cucumu duduk menunggu, di dalam ruang temu keluarga. Di kursi paling ujung, di bawah temeram lampu teplok yang dibeli olehmu ,dulu ketika istri tercintamu masih bersama denganmu. Di antara kau dan cucumu, di samping dinding ruang sempit itu, foto istrimu terpampang rapih. Seakan, malam ini ia turut hadir bersamamu yang kini tengah merayakan malam hari kemerdekaan. Suara paraumu, memanggil cucu kesayangan, yang kini berhadapan dengan posisi tempat kau duduk. Kau memandang busur panah yang terpajang beberapa jangkahan di atas jam dinding antikmu. Busur kayu yang tak rapuh sebab usia yang semakin rapuh. Kau dibawanya, menuju belantara yang kau lalui dalam perang veteranmu dulu.
***
Dalam belantara hutan, Kau bersama rekan veteran Bangsa Indonesia, sibuk berkemas, mulai merapikan tempat untuk penyambutan tentara penjajah. Kau yang kala itu lihai dalam menembak jarak jauh berada di tempat paling atas, guna memberikan perlindungan terhadap keamanan pejuang kemerdekaan, bersenjatakan panah kau bertengger di atas tubuh beringin. Sebab, rindangnya kau tidak akan terdeteksi musuh. Dan mereka yang lain siap dengan peralatan tempurnya; bambu runcing, pistol rampasan, celurit dan tombak.
Selang beberapa saat, kau melihat pergerakan kedatangan musuh, di tikungan terakhir menuju tempatmu bersemayam. Kau mulai memberikan instruksi kepada rekanmu untuk bersiap. Keadaan hening. Bahkan, suara napas, denyut jantungmu kini sangat jelas kau dengar. Dengan kuat, kau tarikkan busur panah. Membidik. Kau pun mulai menunda napasmu beberapa saat sebelum kau mulai melepaskan anak panah itu, yang tepat mengenai kepala sang jenderal. Kau pun lantas, memekikkan dengan lantang, serang !!!. Suaramu menghipnotis tiap-tiap jiwa rekanmu. Mereka dengan teriakan, Merdeka!!, berlarian menghambur menuju tempat para tentara penjajah berhenti. Suara darah mengucur, sangat jelas terdengar disusul teriakan ampunan. Mereka tidak memperdulikan, teriakan itu. Kau bersama rekanmu, meraih kemenangan sementara, sebelum tentara penjajah di belakang tentara pertama, yang ditaklukkan kau dan rekanmu.
Kau bahkan tidak mengira tentara yang datang kedua ini lebih dari apa yang pernah terlintas dalam pikiranmu. Kau dan rekan veteran kalah telak. Sekejap, mata dibuat terperangah oleh desiran peluru, dan bom yang keluar dari tank tempur. Pejuang jatuh berguguran. Kau yang bersembunyi di balik pohon selamat dengan tembakan di kaki kananmu. Kau meringis kesakitan. Kakimu membentuk anak sungai darah di atas tanah lembab. Kau mengumpulkan tenaga untuk bangkit. Namun, upayamu nampak sia-sia. Kau kehabisan tenaga. Kau pingsan.
Kau terbangun, dan kau bingung perihal tempat istirahatmu kini. Kau di rumah sakit tentara. Kau pun bertanya pada perawat yang sibuk mengecek kondisi kesehatanmu. Bagaimana saya bisa sampai ke tempat ini?, kau bertanya dan menunggu jawaban dari bibir perawat itu. Bapak dibawa, oleh segerombolan tentara yang tengah menjelajah, dalam hutan ; tempat Bapak pingsan. Kau pun mengingat kejadian nahas itu, dan bersyukur kau masih diberikan kesempatan untuk kembali berjuang, sekalipun dalam kondisi kaki pincang, sebab tembakan mendadak itu.
***
Kau menghela napas panjang, menghadap jendela yang terbuka, sebab sapuan angin. Di luar gemintang nampak kosong; langit hitam menganga. Kau meluruskan punggung ketika cucu kesayanganmu tertidur dengan lelapnya, terjaga dalam duduk dan tangan menyangga kepalanya. Kau merenung tentang kehidupan di usia senjamu yang musti kerja banting tulang untuk mencukupi kebutuhan, sekadar untuk makan sehari-hari. Kau musti keliling menjajakan daganganmu. Ataupun mencari reruntuhan kaleng, plastik, dan besi bekas untuk kau kumpulkan kemudian kau jual. Hari yang panjang kau lalui bersama segenap pengorbanan, lahir dan batinmu. Sepeda tua berwarna hitam, sudah berkali-kali meminta untuk beristirahat. Namun, kau belum mengabulkan keinginannya. Ialah teman setia-menemani tiap langkah pengorbanan dan perjuanganmu-
Kau pun perlahan tertidur, menghadap jendela; malam. Sunyi telah menenangkan raga tuamu. Kau larut dalam mimpi yang kau citakan ketika perjuanganmu dulu.
Pukul 5 subuh kau dibangunkan cucumu. Untuk sholat subuh. Kau terbangun. Dan bergegas wudlu kemudian sholat subuh. Udara dingin menyapa wajah keriputmu. Sementara ayam kampung tengah berbahagia menyambut hari kemerdekaan. Mereka berkokok silih berganti, laksana pekikan pemimpin kepada rakyat, merdeka!!!.
Selepas melaksanakan kewajibanmu, kau kembali merapikan baju veteran yang sedari kemarin kau kenakan. Hari ini kau tak sabar menuju pertemuan dengan sang saka merah putih, di perayaan kemerdekaan bangsa, hari ini.
***
Kepada bendera merah putih hormat gerakkk, suara itu terdengar memecah keheningan pagi di lapangan upacara, kau berdiri bersama barisan sisa pejuang yang masih berjuang untuk kehidupannya. Di kananmu, barisan pelajar yang usianya selaras dengan usia kau berjuang waktu itu. Desiran angin pagi turut merunduk. Mengikuti perayaan kemerdekaan.
Tibalah saatnya sang merah putih itu, mengudara. Kau pun, turut mengudara bersama tiap kibaran bendera yang kau perjuangkannya dulu. Segala penderitaan telah sirna, berganti rupa kebahagiaan bertemu sang merah putih.
* Cerpen ini masuk dalam antologi bersama, Duka Bumi Pertiwi (2020), dan menjadi 3 terbaik lomba puisi Nasional
Biodata Penulis
Foto. M. Hendry Agus Riyanto |